Di zaman sekarang ini, yang
namanya pengobatan untuk mencapai kesembuhan pasti mahal harganya. Apalagi
dikota-kota besar, bisa lebih dari 50 ribu ketika kita berobat. Ambil contoh
saja di Semarang, ketika saya berobat ke salah satu klinik dekat kampus saya,
Undip. Saya yang hanya sakit masuk angin biasa saja tarifnya bisa lebih dari
50rb. Setelah saya lihat notanya ternyata ada tarif jasa dokternya. ‘oh...
ternyata,’ batin saya. Sebagai mahasiswa yang uang sakunya pas-pasan pasti
merasa berat hati dengan harga yang setinggi langit tersebut. Tetapi saya
berobat di klinik di Semarang hanyalah sekali saat itu saja. Selanjutnya jika sayasakit,
saya lebih memilih berobat di Poliklinik Undip, karena ketika kita masih Maba
(Mahasiswa Baru) berobat di Poliklinik Undip tidak dipungut biaya sepersenpun,
dokternya dosen sendiri pula. Jadi, bagi mahasiswa baru yang uang sakunya
selalu habis di pertengahan bulan, lebih baik berobat di Poliklinik kampus
saja, supaya irit diongkos.
Semakin mahalnya harga obat
dan semakin mahalnya tarif dokter, ternyata masih banyak juga dokter yang mau
melayani masyarakat dengan ikhlas tanpa memungut biaya sepersenpun, bahkan
untuk harga obat. Beberapa saat yang lalu saya pernah membaca suatu artikel di
salah satu website, dan pernah juga melihat berita di televisi yang
memberitakan tentang seorang dokter yang dermawan. Beliau tidak menerima uang
dari masyarakat yang kurang beruntung yang berobat ditempat praktiknya. Beliau
menganjurkan masyarakat yang berobat di tempatnya untuk membawa sampah saja.
Ternyata dokter tersebut selain peduli dengan kesehatan masyarakat, beliau juga
peduli terhadap lingkungan. Subhanallah.
Cerita lain yang pernah saya
baca dari salah satu website juga berkisah tentang kebaikan seorang dokter.
Jadi berita yang saya baca tersebut memberitakan tentang seorang dokter yang
tidak memungut biaya sepersenpun bagi masyarakat kurang mampu. Beliau tak hanya
menggratiskan bagi pasien yang datang ke tempat praktiknya, beliau juga
menggratiskan bagi pasien yang datang ke Rumah Sakit tempat beliau bekerja, yang
tak mampu membayar mahalnya tarif pengobatan di Rumah Sakit. Jadi, beliau
membayarkan keseluruhan biaya pasiennya. Sungguh, semoga Allah mudahkan
rizkinya.
Berita diatas merupakan
beberapa berita yang telah saya baca dan saya saksikan di televisi. Semoga
masih banyak dokter diluar sana yang bermurah hati terhadap pasiennya yang
memerlukan pertolongan.
Tak perlu jauh-jauh dari
berita di surat kabar elektronik, ternyata salah satu dokter di desa saya ada
juga baik hatinya. Beliau tidak memungut tarif jasa dokter, beliau hanya
memungut tarif obat saja, dan itupun harganya dimurahin. Satu hari yang
lalu, ketika saya berobat di dokter tersebut, saya diberi tiga obat, dan saya
hanya disuruh membayar 15ribu rupiah saja. Padahal, ketika saya lihat tulisan
dibalik obat tersebut tertera tulisan harganya, ada yang seharga 9ribu-an.
Mungkin ada juga pasien lain yang harganya lebih mahal lagi. Tetapi beliau
hanya menarif 5ribu rupiah per satu obat saya. Dokter baik tersebut bernama Ibu
Dokter Sri. Beliau berpraktik di kediamannya yang satu desa dengan saya di Desa
Payaman, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Akan tetapi pasiennya tidak
hanya berasal dari desanya saja, melainkan dari mana saja. Banyak juga
pasiennya yang jauh-jauh datang ke Payaman hanya untuk berobat ke Bu
Sri-panggilan akrabnya. Misalnya saja, ada pasien yang datang dari Muntilan,
padahal Muntilan letaknya sangat jauh dari Payaman. Pasiennya juga terdiri dari
berbagai golongan, ada yang petani, buruh, guru, polisi, tentara dan lainnya.
Mereka sangat senang berobat di Bu Sri karena kebaikan hatinya.
Ibu Sri sekarang tidak muda
lagi. Ketika saya datang berobat kepadanya, beliau terlihat letih,
matanya terlihat merah-kehitaman. Jelas sekali beliau letih, sebab siang dan
malam beliau bekerja tanpa pamrih melayani masyarakat. Selain beliau dinas di
Rumah Sakit tempat ia bekerja, ia membuka praktik dirumahnya. Semangat beliau
dalam melayani masyarakat masih tinggi. Bahkan dihari-hari yang sibuk pun
beliau tetap menyempatkan membuka praktiknya. Seperti ketika Bulan Ramadan, ketika
malam hari beliau tetap membuka praktinya selepas tarawih. Sungguh, seorang
dokter yang murah hati sekali.
Saya merasakan
kemurah-hatian Ibu Sri ketika saat ini, dahulu saya merasa biasa saja, ‘mungkin
tarifnya memang sekian,’ pikir saya dahulu. Baru setelah saya merasakan betapa
mahalnya berobat di Semarang, kemudian berobat di Bu Sri, saya merasakan betapa
ikhlasnya beliau.
Semoga Allah kepada Bu Sri
dan dokter-dokter lain yang baik hati diluar sana berikan panjang umur, sehat
selalu, dilancarkan rizkinya, dan selalu dimudahkan hidupnya. Aamiin.
Semoga tulisan ini bisa
menjadi koreksi bagi kita semua, bagi yang membaca artikel ini. Karena masih
banyak masyarakat Indonesia yang keadaan ekonominya masih dibawah normal. Bagi
masyarakat kurang mampu, untuk membayar tarif termurah dari BPJS yang sebesar
25ribu pun tidak mampu. Oleh karena itu, mereka memilih mendaftar BPJS ketika
mereka sudah sakit. Maka dari itu jangan salahkan rakyat kecil yang sibuk
mengurus BPJS ketika salah satu keluarga mereka sudah sakit. Itu merupakan
keluh kesah dari salah satu masyarakat kepada saya.
Oleh sebab itu, untuk
pemerintah, koreksilah kebijakan yang sudah ada, buatlah kebijakan yang
mencakup semua masyarakat. Untuk rakyat Indonesia, mari kita kawal kebijakan
yang telah dibuat oleh pemerintah. Supaya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
dapat tercapai. Masa’ kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah masih ada
yang belum tercapai, seperti Indonesia Sehat 2010, MDGs 2015 (Millenium
Development Goals), dan kebijakan-kebijakan kesehatan lainnya. Semoga
dengan adanya kebijakan yang tepat, taraf kesehatan masyarakat Indonesia dapat
meningkat. Aamiin.
Magelang, ketika tubuh
berangsur-angsur sembuh setelah berobat ke Bu Sri, Malam Iedul Fitri, 1 Syawal
1436 H, 16 Juli 2015 M.