Selepas maghrib beberapa hari yang lalu, langit terlihat mendung. Tak lama kemudian gerimis datang, lalu disusul hujan deras. Di tengah kesunyian malam yang hanya terdengar suara hujan, tiba-tiba terdengar suara orang menangis. Ternyata yang menangis teman kos saya, sebut saja Mella.
Saya dan Nana (bukan nama sebenarnya) langsung menghampiri kamar Mella untuk menenangkannya. Di dalam kamar, Mella menangis tersedu-sedu sambil sesekali memukul-mukulkan tangannya ke meja serta memukul-mukul kepala. Hal tersebut membuat saya dan Nana bingung, karena kami belum mengetahui penyebab Mella menangis.
Ternyata tidak mudah menenangkan tangisan Mella. Tak mudah pula membujuk Mella untuk menceritakan hal yang menyebabkan ia menangis. Butuh waktu bermenit-menit sampai ia mau bercerita, itu pun masih diiringi isak tangis.
“Mbak habis ada orang jahat,” kata Mella. “barusan ada cowok naik motor yang megang dadaku mbak, sakit mbak, aku nggak terima mbak.”
Mella ternyata baru saja mengalami pelecehan seksual. Kejadiannya pun tidak jauh dari kos melainkan hanya di depan gerbang kos.
Ketika Mella hendak melangkah keluar kos, tiba-tiba ada seorang pengendara motor yang menepuk payudara Mella dengan keras, lalu pengendara tersebut langsung pergi. Namun, Mella sama sekali tidak dapat melihat wajah sang pelaku karena sorot lampu sepeda motor pelaku yang sangat menyilaukan.
Setelah Mella mau menceritakan kejadian yang baru saja menimpanya, tak lantas ia berhenti menangis. Setelah sektiar 1 jam lamanya, Mella baru bisa menghentikan tangisannya. Pengalaman tersebut membuat Mella sangat sedih dan ia masih trauma hingga saat ini.
Kejamnya pelecehan seksual di sekitar kampus ternyata tidak hanya dialami oleh Mella saja. Nana juga pernah mengalami hal serupa yaitu dipegang payudaranya oleh seorang pria tak dikenal ketika ia pulang kuliah. Pelecehan seksual tersebut dilakukan pada siang hari. Tak hanya sekali, Nana pernah mengalami kejadian tersebut sebanyak dua kali, dan kedua-duanya terjadi ketika ia pulang dari kampus.
Pelecehan seksual juga pernah menimpa Rini (bukan nama sebenarnya) ketika ia naik bus antar kota antar provinsi. Bus yang ia tumpangi waktu itu penuh sehingga banyak penumpang yang berdiri di bagian tengah bus.
Ketika itu, Rini duduk di kursi yang dekat dengan bagian tengah bus. Jalan di tengah bus itu dipenuhi dengan orang-orang yang berdiri. Disamping kiri Rini persis, terdapat seorang pria yang usianya sekitar 40 tahun-an. Tiba-tiba pria tersebut menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke bahu sebelah kiri Rini.
Sebenarnya waktu itu Rini mengetahui kejadian tersebut. Tetapi karena dia belum pernah mendengar ataupun membaca mengenai kasus pelecehan seksual seperti yang ia alami, Rini tidak tahu harus bersikap bagaimana. Rini diam saja karena takut dan bingung ia harus lapor kesiapa. Pada akhirnya Rini tetap membiarkan pria tersebut melakukan perbuatan asusilanya.
Karena kejadiannya ditempat umum dan banyak orang, mungkin waktu itu ada orang lain yang juga melihat kejadian tersebut. Tetapi tidak ada satu orang pun yang memperingatkan pelaku. Orang-orang yang mengetahui kejadian itu seakan-akan berpura-pura tidak tahu.
Kasus pelecehan seksual sebenarnya banyak terjadi di sekitar kita. Berdasarkan Cacatan Tahunan 2017, Komnas Perempuan menemukan 3.495 (34%) kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam ranah Kekerasan dalam Rumah Tangga / Relasi Personal selama Tahun 2016. Sedangkan pada tahun sebelumnya (2015), Komnas Perempuan mencatat kekerasan seksual sebesar 30% (3.325 kasus).
Berdasarkan sumber yang sama, kekerasan seksual di ranah komunitas pada Tahun 2016 mencapai 2.290 kasus (74%), meningkat dari Tahun 2015 yang kasusnya sebesar 61%.
Data tersebut hanyalah segelintir dari banyaknya kasus yang ada. Angka kekerasan seksual yang dilaporkan bagaikan fenomena gunung es. Kasus-kasus yang dilaporkan merupakan puncaknya sedangkan dasarnya yang jauh lebih besar menggambarkan kasus-kasus yang tidak terlaporkan.
Menurut sebuah survei daring yang diadakan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia, sebesar 93% penyintas pemerkosaan tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat hukum dan 6% yang melaporkan, pelakunya bebas dari jerat hukum. Survei tersebut menemukan hanya 1 persen korban yang mendapat penyelesaian atas kasusnya setelah menempuh jalur hukum.
Survei yang dilakukan selama satu bulan tersebut, diikuti oleh 25.214 partisipan. Hasilnya sebesar 37,9% partisipan mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual, mulai dari kekerasan verbal, kekerasan fisik non-seksual hingga pemerkosaan.
Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam BBC, setiap 2 jam, 3 perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual.
Magdalene.co juga melaporkan bahwa 2/3 responden pernah mengalami pelecehan seksual verbal, sedangkan 25 persen pernah menjadi korban kekerasan seksual non-persetubuhan, dan 20 persen lainnya pernah dipaksa menonton pornografi atau melihat alat kelamin.
Alasan responden tidak melaporkan kejahatan seksual dalam survei tersebut sangat beragam, tetapi sebesar 63% responden mengaku malu melaporkan. Alasan lain yaitu takut disalahkan atau tidak dipercaya, tidak memiliki bukti yang cukup, tidak didukung oleh keluarga dan teman, serta diintimidasi oleh pelaku.
Sedangkan penyebab sedikitnya laporan kasus menurut Komnas Perempuan yaitu dikarenakan perubahan pola pendokumentasian di sejumlah lembaga negara, tidak meratanya akses layanan di sejumlah daerah dan keengganan korban melaporkan karena masih rumitnya akses keadilan.
Korban dan saksi banyak yang enggan melaporkan kejadian pelecehan seksual yang mereka hadapi karena mereka enggan berurusan dengan birokrasi yang rumit. Mereka malas dengan lamanya proses yang harus mereka jalani.
Para saksi tidak melaporkan kasus pelecehan seksual yang mereka ketahui karena mereka merasa bahwa kejadian tersebut bukanlah urusan mereka. Sehingga mereka tidak mengacuhkanya.
Sikap ketidakacuhan masyarakat seharusnya tidak terjadi. Karena sebagai sesama manusia, sudah sepantasnya kita harus saling tolong menolong dalam kebaikan. Sebagaimana telah diajarkan oleh semua agama bahwa jika kita melakukan kebaikan, maka Tuhan akan membalas kebaikan kita.
Para saksi kasus pelecehan seksual, seharusnya tidak mendiamkan kejadian yang mereka lihat. Memberi kesaksian dapat menenangkan korban karena ia merasa ada yang membelanya. Lagipula Indonesia memiliki suatu lembaga yang tugasnya memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban. Nama lembaganya yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau yang sering dikenal dengan nama LPSK (UU No. 31 Tahun 2014).
Berdasarkan Undang-undang tersebut, beberapa hak yang akan didapatkan oleh korban dan saksi yaitu memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang diberikannya; ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; memberikan keterangan tanpa tekanan; bebas dari pertanyaan yang menjerat; mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; dirahasiakan identitasnya; dan lain-lain.
Tata cara memperoleh perlindungan dari LPSK pun sangat mudah. Pertama, saksi dan/atau korban mengajukan permohonan secara tertulis; kedua, LPSK melakukan pemeriksaan terhadap permohonan; dan ketiga, Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 hari sejak permohonan diajukan.
Mudahnya proses permintaan perlindungan kepada LPSK sebaiknya dimanfaatkan oleh masyarakat. Untuk mengakhiri pelecehan seksual sudah seharusnya menjadi tanggung jawab bersama. Karena banyak pula masyarakat yang juga mengenal korban pelecehan seksual di lingkungan sekitarnya. Sikap diam kita bukanlah pilihan untuk menyelesaikan masalah pelecehan seksual yang terjadi di negeri tercinta ini.